Senin, 07 Januari 2013

Stop Politik Uang Pilkada Sumatera Utara


Jika tidak berhalangan, 7 Maret 2013 Masyarakat Sumatera Utara akan memilih calon kepala daerah yang baru. Tentunya masyarakat sudah memiliki pilihan dan pilihan itu kita harapkan bisa memberikan kontribusi bagi nasib pembangunan Sumatera Utara lima tahun ke depan. Kendati demikian, pada pemilihan kali ini kita berharap para kandidat calon Gubernur dan wakil Gubernur bisa menang dan terpilih dengan cara-cara yang jujur tidak melakukan politik uang kepada masyarakat pemilih.
Money politics atau politik uang kerap mewarnai dan menodai wajah demokrasi di Indonesia. Dalam alam demokrasi, keterlibatan warga merupakan kontribusi dalam pembangunan politik di suatu daerah dengan asusumsi bahwa mereka yang dipilih merupakan perwakilan dari mereka yang memilih. Secara sederhana, politik uang dapat diartikan sebagai segala sesuatu tindakan yang disengaja oleh seseorang atau kelompok dengan memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada seseorang supaya menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu.
Ada berapa faktor menurut penulis mengapa hal ini bisa terjadi antara lain:
1.   Lemahnya komitmen para pejabat, pegawai, kelompok tertentu dan sebagian masyarakat dalam memegang keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.   Lemahnya komitmen dalam memegang nilai-nilai moral seperti kejujuran.
3.   Nafsu ingin memperoleh jabatan dengan cara instant. Keempat, aturan dan sanksi yang relatif lemah.
Adapun efek/dampak yang ditimbulkan dari politik uang antara lain:
1.   Akan melahirkan para pemimpin yang korupsi
2.   Merusak tatanan demokrasi
3.   Biaya politik semakin tinggi
Jadi, jangan heran jika hari ini kita menyaksikan berita kepala daerah yang ditahan KPK karena masalah korupsi.
Menurut penelitian Tim Polhukam Kemendagri (2007) bagi Negara berkembang yang sebagian rakyatnya miskin, politik uang merupakan teknik pengkaderan massa  sangat efektif. Fenomena ini sangat potensial terjadi di Indonesia. Dalam Pilkada langsung, siapa yang berduit maka ia akan dengan mudah membeli suara rakyat. Pilkada yang diselenggarakan dalam batas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah pemilih yang lebih sedikit tentu sangat rawan dengan politik uang. Melihat karakteristik pemilih di Tanjungpinang dan pengalaman-pengalaman anggota dewan yang terpilih sebagian dari mereka pun mengakui bahwa mereka ada memberikan sesuatu. Dalam PP No. 6 th. 2005 pasal 65 ayat 3 dengan tegas disebutkan bahwa sumbangan dana kampanye dari perseorangan dilarang melebihi 50 juta rupiah, dan dari badan hukum swasta dilarang melebihi 350 juta rupiah. Pada ayat 4 disebutkan bahwa pasangan calon dapat menerima dana atau menyetujui pembiayaan bukan dalam bentuk uang secara langsung. Selanjutnya pada ayat 5 disebutkan jika sumbangan kepada pasangan calon lebih dari 2,5 juta baik dalam bentuk ang maupun bukan wajib dilaporkan kepada KPUD mengenai jumlah dan identitas pemberi sumbangan.
Pengaturan dana kampanye ini diantaranya ditujukan agar kinerja kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak dipengaruhi oleh sumber dana yang membiayai pencalonan. Di Indonesia, praktik politik uang hampir sama dengan praktik korupsi konvensional yang diyakini sangat merajalela, tetapi sulit dibuktikan keberadaanya. Banyak faktor yang menyebabkan praktik politik uang santer beroperasi, diantaranya faktor internal pemilih dan faktor eksternal atau lingkungan tempat Pilkada itu berlangsung.
Menurut Leo Agustino (2009: 121) dalam bukunya, “Pilkada dan Dinamika Politik Lokal”, ada beragam permasalahan yang menyelimuti Pemilukada selain politik uang.
Adapun permasalahan yang menyelimuti Pemilukada/Pilkada antara lain:
1.   Tidak akuratnya data pemilih
Masalah data pemilih merupakan masalah yang mendasar dan hampir seluruh Pemilukada mengalami ketidakakuratan data pemilih dan pada sebagian daerah menimbulkan gelombang protes.
2.   Persyaratan calon yang tidak lengkap
Dalam memenuhi persyaratan calon, terutama yang menyangkut ijazah sering tidak memenuhi persyaratan, seperti ijazah palsu, tidak punya ijazah atau surat keterangan hilang dan persamaan status ijazah setingkat SLTA. Kurang telitinya KPUD dalam melakukan verifikasi berkas administrasi calon dan adanya pengaduan masyarakat terhadap dugaan ijazah palsu atau pernah dijatuhi hukuman yang sering kurang mendapat tanggapan.
3.   Pengusulan pasangan calon dari partai politik
Berbagai kejadian di daerah, permasalahan internal Parpol dalam menentukan pasangan calon membuat pelaksanaan Pemilukada menjadi terhambat. Ada parpol yang memiliki pengurus kembar, ada yang proses seleksi calon tidak transparan sehingga menimbulkan protes pengurus dan ada intervensi dari pengurus pusat ke daerah. Dualisme dukungan ini juga terkadang sempat membuat Pilkada akhirnya diikuti satu pasang calon dan membuat pelaksanaan Pemilukada tertunda.
4.   KPUD yang tidak netral
Faktor kedekatan dan kekerabatan antara penyelenggara Pilkada dan pasangan calon memengaruhi tingkat kenetralan penyelenggara. Selain daripada itu yang sangat dominan kekuasaan penyelenggara yang begitu kuat tanpa dapat dikoreksi oleh instansi manapun maupun pengadilan.
5.   Panwas Pemilukada terlambat dibentuk
6.   Dana kampanye yang tidak transparan
7.   Mencuri start kampanye
Terlepas dari permasalahan ini, kesulitan ekonomi yang melanda masyarakat membuat mereka menerima dan bahkan menunggu-nunggu praktik politik uang tersebut. Ditambah dengan rendahnya kualitas pendidikan politik yang tidak berjalan optimal, hal inilah menambah menjamurnya politik uang di negeri ini. Untuk itu, kita berharap PILGUBSU atau Pemilukada Sumatera Utara nanti kita mampu menangkis politik uang atau money politic. Tentunya dengan komitmen yang kokoh antara pihak terkait untuk bersama memeranginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar