Jika
tidak berhalangan, 7 Maret 2013 Masyarakat Sumatera Utara akan memilih calon
kepala daerah yang baru. Tentunya masyarakat sudah memiliki pilihan dan pilihan
itu kita harapkan bisa memberikan kontribusi bagi nasib pembangunan Sumatera
Utara lima tahun ke depan. Kendati demikian, pada pemilihan kali ini kita
berharap para kandidat calon Gubernur dan wakil Gubernur bisa menang dan
terpilih dengan cara-cara yang jujur tidak melakukan politik uang kepada
masyarakat pemilih.
Money politics atau politik uang kerap mewarnai dan menodai
wajah demokrasi di Indonesia. Dalam alam demokrasi, keterlibatan warga
merupakan kontribusi dalam pembangunan politik di suatu daerah dengan asusumsi
bahwa mereka yang dipilih merupakan perwakilan dari mereka yang memilih. Secara
sederhana, politik uang dapat diartikan sebagai segala sesuatu tindakan yang
disengaja oleh seseorang atau kelompok dengan memberi atau menjanjikan uang
atau materi lainnya kepada seseorang supaya menggunakan hak pilihnya dengan
cara tertentu.
1. Lemahnya
komitmen para pejabat, pegawai, kelompok tertentu dan sebagian masyarakat dalam
memegang keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Lemahnya
komitmen dalam memegang nilai-nilai moral seperti kejujuran.
3. Nafsu
ingin memperoleh jabatan dengan cara instant. Keempat, aturan dan sanksi yang
relatif lemah.
Adapun
efek/dampak yang ditimbulkan dari politik uang antara lain:
1. Akan
melahirkan para pemimpin yang korupsi
2. Merusak
tatanan demokrasi
3. Biaya
politik semakin tinggi
Jadi,
jangan heran jika hari ini kita menyaksikan berita kepala daerah yang ditahan
KPK karena masalah korupsi.
Menurut
penelitian Tim Polhukam Kemendagri (2007) bagi Negara berkembang yang sebagian
rakyatnya miskin, politik uang merupakan teknik pengkaderan massa sangat
efektif. Fenomena ini sangat potensial terjadi di Indonesia. Dalam Pilkada
langsung, siapa yang berduit maka ia akan dengan mudah membeli suara rakyat.
Pilkada yang diselenggarakan dalam batas wilayah yang relatif kecil dengan
jumlah pemilih yang lebih sedikit tentu sangat rawan dengan politik uang.
Melihat karakteristik pemilih di Tanjungpinang dan pengalaman-pengalaman
anggota dewan yang terpilih sebagian dari mereka pun mengakui bahwa mereka ada
memberikan sesuatu. Dalam PP No. 6 th. 2005 pasal 65 ayat 3 dengan tegas
disebutkan bahwa sumbangan dana kampanye dari perseorangan dilarang melebihi 50
juta rupiah, dan dari badan hukum swasta dilarang melebihi 350 juta rupiah.
Pada ayat 4 disebutkan bahwa pasangan calon dapat menerima dana atau menyetujui
pembiayaan bukan dalam bentuk uang secara langsung. Selanjutnya pada ayat 5
disebutkan jika sumbangan kepada pasangan calon lebih dari 2,5 juta baik dalam
bentuk ang maupun bukan wajib dilaporkan kepada KPUD mengenai jumlah dan
identitas pemberi sumbangan.
Pengaturan
dana kampanye ini diantaranya ditujukan agar kinerja kepala daerah dan wakil
kepala daerah tidak dipengaruhi oleh sumber dana yang membiayai pencalonan. Di
Indonesia, praktik politik uang hampir sama dengan praktik korupsi konvensional
yang diyakini sangat merajalela, tetapi sulit dibuktikan keberadaanya. Banyak
faktor yang menyebabkan praktik politik uang santer beroperasi, diantaranya faktor
internal pemilih dan faktor eksternal atau lingkungan tempat Pilkada itu
berlangsung.
Menurut
Leo Agustino (2009: 121) dalam bukunya, “Pilkada dan Dinamika Politik Lokal”,
ada beragam permasalahan yang menyelimuti Pemilukada selain politik uang.
Adapun
permasalahan yang menyelimuti Pemilukada/Pilkada antara lain:
1. Tidak
akuratnya data pemilih
Masalah
data pemilih merupakan masalah yang mendasar dan hampir seluruh Pemilukada
mengalami ketidakakuratan data pemilih dan pada sebagian daerah menimbulkan
gelombang protes.
2. Persyaratan
calon yang tidak lengkap
Dalam
memenuhi persyaratan calon, terutama yang menyangkut ijazah sering tidak
memenuhi persyaratan, seperti ijazah palsu, tidak punya ijazah atau surat
keterangan hilang dan persamaan status ijazah setingkat SLTA. Kurang telitinya
KPUD dalam melakukan verifikasi berkas administrasi calon dan adanya pengaduan
masyarakat terhadap dugaan ijazah palsu atau pernah dijatuhi hukuman yang
sering kurang mendapat tanggapan.
3. Pengusulan
pasangan calon dari partai politik
Berbagai
kejadian di daerah, permasalahan internal Parpol dalam menentukan pasangan
calon membuat pelaksanaan Pemilukada menjadi terhambat. Ada parpol yang
memiliki pengurus kembar, ada yang proses seleksi calon tidak transparan
sehingga menimbulkan protes pengurus dan ada intervensi dari pengurus pusat ke
daerah. Dualisme dukungan ini juga terkadang sempat membuat Pilkada akhirnya
diikuti satu pasang calon dan membuat pelaksanaan Pemilukada tertunda.
4. KPUD
yang tidak netral
Faktor
kedekatan dan kekerabatan antara penyelenggara Pilkada dan pasangan calon
memengaruhi tingkat kenetralan penyelenggara. Selain daripada itu yang sangat
dominan kekuasaan penyelenggara yang begitu kuat tanpa dapat dikoreksi oleh
instansi manapun maupun pengadilan.
5. Panwas
Pemilukada terlambat dibentuk
6. Dana
kampanye yang tidak transparan
7. Mencuri
start kampanye
Terlepas
dari permasalahan ini, kesulitan ekonomi yang melanda masyarakat membuat mereka
menerima dan bahkan menunggu-nunggu praktik politik uang tersebut. Ditambah
dengan rendahnya kualitas pendidikan politik yang tidak berjalan optimal, hal
inilah menambah menjamurnya politik uang di negeri ini. Untuk itu, kita
berharap PILGUBSU atau Pemilukada Sumatera Utara nanti kita mampu menangkis
politik uang atau money politic. Tentunya dengan komitmen yang kokoh antara
pihak terkait untuk bersama memeranginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar