Dalam buku The
Mahabharata of Vyasa karya P Lal (New Delhi,1981) diceritakan secara sangat
dramatis bagaimana Kanika, sang penasihat politik Destarasta, memberi nasihat
kepada Pejabat Raja Hastinapura itu.
“Yang Mulia”, demikian
nasihatnya, “seorang raja dapat memerintah dengan berbagai sistem dan cara.
Tapi ingat, tidak ada gunanya seorang raja memberikan perintah jika perintah
itu tidak dilaksanakan. Penting bagi seorang raja bisa menyembunyikan kelemahan
seperti seekor kura-kura menyembunyikan kepalanya. Maka sedikit berpura-pura
tuli dan buta akan menolong”. Nasihat Kanika itu disampaikan kepada Destarastra
yang sedang mengalami kebingungan menghadapi kenyataan semakin merosotnya
legitimasi politiknya.
Pemerintahannya
mengalami krisis kepercayaan karena semakin tipisnya harapan rakyat terhadap
kepemimpinannya sebagaimana yang tampak pada berbagai survei. Tetapi, poin
terpenting dari nasihat Kanika adalah bahwa dalam sistem apa pun suatu
pemerintahan haruslah berjalan efektif dan efisien. Perintah-perintahnya harus
dijalankan oleh para pembantunya dan aparatusnya. Untuk itulah, pemerintah dari
dulu sampai sekarang disebut eksekutif sebab pemerintah dan memang hanya
pemerintahlah yang memiliki fungsi eksekutorial itu.
Dalam konteks dan
perspektif inilah,seorang presiden, perdana menteri,kanselir,atau apa pun
namanya,bahkan raja sekalipun, sama sekali tidak ada gunanya memberikan
perintah jika perintah itu tidak dilaksanakan.Jika ini yang terjadi, raja
tersebut berarti tidak bisa menjalankan fungsinya yang paling elementer: fungsi
eksekutorial. Ini suatu kelemahan mendasar.
a. Inefektivitas
Eksekutorial
Jika suatu
pemerintahan tidak bisa menjalankan fungsi eksekutorialnya, perlu diteliti
dengan seksama di mana letaknya stagnasi yang mengakibatkan inefektivitas dan
inefisiensi eksekutorialnya itu terjadi. Apakah disebabkan karena faktor yang
inheren di dalam pemerintahan seperti lemahnya organisasi pemerintahan atau
kelemahan aparatnya ataukah karena sesuatu yang bersifat sangat fundamental dan
sistemik.Yang dimaksud dengan sistemik di sini terutama adalah sistem politik
yang sedang dianut oleh negara di mana pemerintahan itu bekerja.
Dalam kasus negara
kita banyak kalangan yang menuding faktor yang kedua atau yang terakhir inilah
yang terjadi. Tragisnya adalah bahwa yang dituding sebagai biang persoalan atau
bahkan ”kambing hitam”-nya adalah sistem demokrasi liberal yang katanya sedang
kita jalankan sekarang ini. Bagi pendukung pandangan yang agak pesimis ini,
pertanyaan selanjutnya yang digulirkan, apakah lantas kita biarkan saja
demokrasi yang liberal ini terus berlangsung di negeri ini dengan segala kelemahannya
yang semakin menjengkelkan rakyat ini?
Apakah menoleransi
demokrasi semacam ini tidak berarti membiarkan sebuah sistem demokrasi yang
tidak produktif bagi kesejahteraan rakyat akan terus berlangsung? Lantas
bagaimana dengan nasib rakyat yang sebagian besar masih papa dan miskin ini?
Atau yang lebih fundamental lagi,apakah serangkaian kegaduhan ini justru
diakibatkan oleh praktik demokrasi yang terlalu demokratis seperti ini? Saya
ingin menjawab pertanyaan tersebut dengan mengatakan bahwa bagaimanapun
demokrasi adalah suatu keharusan.Bahwa tidak seorang pun sekarang ini yang bisa
menolak demokrasi.
Tetapi, terus terang
saja demokrasi itu bukanlah demokrasi yang liberal seperti sekarang ini.
Keharusan untuk menerapkan prinsip demokrasi rasanya kita sepakati
bersama.Tetapi, setelah lebih dari satu dasawarsa ini terbuktilah bahwa
demokrasi yang seperti ini perlu direnungkan kembali. Apakah demokrasi semacam
ini sepadan dengan modal sosial yang kita miliki? Demokrasi janganlah dipahami
sebagai kebebasan (bicara) semata sehingga akhirnya pemerintahan negara tidak
berjalan efektif (sangkil), apalagi efisien (mankus) seperti ini.
Jika demokrasi liberal
di tahun 1950-an mengakibatkan pemerintahan jatuh bangun, demokrasi liberal
pascareformasi melahirkan pemerintahan yang tidak efektif dan efisien.
Bagaimana bisa dikatakan efektif manakala pemerintahan negara dalam sistem
presidensil ini seringkali justru tidak dibenarkan hadir pada saat dan situasi
yang sedemikian rupa di mana kehadiran negara merupakan suatu keniscayaan!
Ketika fenomena
premanisme politik marak di seluruh penjuru, pemerintah negara tidak bisa
berbuat apaapa. Ketika korupsi menggerogoti birokrasi pemerintahan itu
sendiri,kepala pemerintahan bahkan menyerahkan pemberantasan korupsi itu kepada
lembaga independen yang bernama KPK, tanpa sama sekali memberdayakan lembaga
penegak hukum terlebih dulu yang ada di lingkungan pemerintahan seperti
kejaksaan/ kepolisian dan badan “pencegah korupsi” Inspektorat Jenderal dan
Bawasda.
Demikian juga saban
terjadi kerusuhan sosial dan konflik keagamaan pemerintahan negara tidak hadir
karena alasan—seperti sering dikatakan oleh petinggi pemerintahan sendiri—bahwa
pemerintah tidak bisa melakukan intervensi. Walhasil, ketidakhadiran alat
negara sebagai simbol negara berarti—benar atau salah—disebabkan oleh
faktor-faktor sistemik dalam sistem dan infrastruktur politik hukum kita.
Setidaknya demikianlah yang dipersepsikan oleh Presiden sebagaimana yang sering
dikeluhkan ketika dikritik bahwa negara melakukan pembiaran.
b. Demokrasi Macam Apa
Ini?
Ini belum lagi kita
bicara tentang pengelolaan keuangan negara. Bagaimana bisa dikatakan bahwa
penyelenggaraan negara efisien apabila kenyataannya untuk keperluan anggaran
rutin saja telah menghabiskan sebagian besar belanja negara yang pada 2012 ini
berjumlah sekitar Rp1.500 triliun? Sulit untuk mengatakan efisien jika anggaran
rutin dari tahun ke tahun sedemikian besarnya sehingga ada orang menyebutnya
sebagai “APBN Beamtenstaat” karena sebagian besar anggaran negara habis untuk “ongkos
tukang”.
Amanat UUD 1945 Pasal
23 ayat 1 bahwa APBN itu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat terabaikan
dalam sistem demokrasi yang sekarang ini. Dus, terjadinya inefisiensi keuangan
negara berarti sama dan sebangun dengan penyelenggaraan negara yang tidak
efektif.
Juga demokrasi macam
apa ini ketika orang bisa begitu berani mencaci maki presidennya secara terbuka
di media masa dan media sosial; ketika seseorang bisa memenangkan pemilihan
anggota DPR, presiden, gubernur,bupati,dan wali kota, hanya karena
keunggulannya dalam politik transaksional yang bersifat material; jika
seseorang menjadi menteri hanya karena menyumbang kepada sebuah partai politik
sekian miliar rupiah; jika seseorang bisa dicalonkan oleh suatu parpol dalam
pilkada hanya karena yang bersangkutan memiliki kemampuan logistik tinggi; dan
lain-lainnya?
Sungguh sebuah
demokrasi yang anakronistik. Di mata kebanyakan rakyat demokrasi sekarang ini
yang tampak hanyalah kebebasan orang untuk bicara, mengkritik, dan memaki. Ini
demokrasi yang tidak produktif bagi kesejahteraan rakyat dan karena itu tidak
relevan dengan kepentingan rakyat yang masih papa dan miskin ini. Banyak hal
ternyata yang harus kita renungkan bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar