Senin, 17 Desember 2012

Hilangnya Makna Demokrasi Yang Sesungguhnya


Yang sedang kita lalui sekarang ini adalah hari-hari yang sedang sangat rawan-rawannya bagi kehidupan hati nurani, akal sehat dan kemanusiaan. Hari-hari penghancur logika, penjungkir-balik rasionalitas dan peremuk kejujuran. Hari-hari di mana pengetahuan dan ilmu manusia diselubungi oleh kegelapan, atau sekurang-kurangnya keremangan. Hari-hari di mana manusia, kelompok-kelompok masyarakat, lembaga dan birokrasi sejarah, bukan saja tidak memiliki akurasi, kejernihan dan kejujuaran dalam menatap hal-hal di dalam kegelapan – tapi lebih dari itu bahkan tidak semakin bisa mereka pilahkan beda antara cahaya dan kegelapan.
Inilah hari-hari di mana kebanyakan manusia bukan hanya kehilangan alamat kemanusiaannya, alamat rohaninya, alamat moralnya, lebih dari itu juga kehilangan alamat sosialnya, alamat politik, ekonomi dan kebudayaannya. Inilah hari-hari di mana standar-standar pengetahuan bersifat terlalu cair, di mana pilar-pilar ilmu dan pandangan kabur pada dirinya sendiri, di mana kepastian hukum bersifat terlalu gampang dilunakkan dan diubah bentuk maupun substansinya sehingga juga sangat gampang kehilangan kepastiannya.

Demokrasi Sebagai Kambing Hitam

Dalam buku The Mahabharata of Vyasa karya P Lal (New Delhi,1981) diceritakan secara sangat dramatis bagaimana Kanika, sang penasihat politik Destarasta, memberi nasihat kepada Pejabat Raja Hastinapura itu.
“Yang Mulia”, demikian nasihatnya, “seorang raja dapat memerintah dengan berbagai sistem dan cara. Tapi ingat, tidak ada gunanya seorang raja memberikan perintah jika perintah itu tidak dilaksanakan. Penting bagi seorang raja bisa menyembunyikan kelemahan seperti seekor kura-kura menyembunyikan kepalanya. Maka sedikit berpura-pura tuli dan buta akan menolong”. Nasihat Kanika itu disampaikan kepada Destarastra yang sedang mengalami kebingungan menghadapi kenyataan semakin merosotnya legitimasi politiknya.