Masih
segar dalam ingatan, beberapa waktu lalu, Indonesia masuk dalam daftar indeks
negara gagal versi lembaga riset The Fund for Peace. Sebelum lembaga ini
merilis hasil penelitiannya, negeri yang peringkat Human Development Indexnya
(HDI) selalu bertengger di atas 100 ini juga pernah di ‘deklarasikan’ sebagai
negeri auto pilot. Kondisi tersebut menjadi bukti sekaligus penguat rasa
ketidakpercayaan masyarakat terhadap bangsa dan pemimpinnya. Apalagi pertikaian
elit politik bagaikan kebakaran hutan dimusim kemarau, semakin memanas dan tak
berkesudahan. Suasananya semakin terasa tidak sehat ketika menjelang perebutan
tampuk kekuasaan, baik di tingkat daerah maupun nasional.
Wacana
kepemimpinan muda yang diharapkan menjadi penawar dari krisis kepemimpinan yang
adapun menjadi sepi dan semakin tak berarti. Selain belum mampu menjadi dalang,
latar belakangnya tidak lain karena keberadaan kaum muda yang diharapkan
menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan permasalahan akut bangsa justru
menjadi penyebab permasalahan itu sendiri. Tidak salah kalau kemudian
memunculkan antipati masyarakat yang salah satu indikatornya dapat kita lihat
dari pengelembungan suara golput dan kehadiran kaum independen dalam kontes
demokrasi.
1.
Apakah Pendidikan Gagal?
Pastinya
ada satu wilayah yang menjadi sorotan ketika problematika seperti yang
dipaparkan -baru sedikit- di atas itu terjadi. Sekali lagi paparan itu tidak
mampu mewakili suasana psikologis masyarakat mengenai betapa tipisnya harapan
untuk menatap bangsa kedepan. Pendidikanlah yang akan mendapatkan ultimatum
untuk bertanggungjawab. Tapi apakah lantas pendidikan selama ini dianggap
gagal? Pasti akan muncul jawaban yang datangnya dari dua arah. Salah satunya
argumentasi yang mengatakan masih ada output dari pendidikan bangsa yang masih
menghasilkan para generasi cerdas, kompetitif, dan bermoral. Persis seperti
makna pendidikan yang tercantum dalam payung hukum pendidikan itu sendiri.
Akan
tetapi sebagai usaha perbaikan, pendapat mengenai kegagalan pendidikan itu
tidak harus segera dibantah. Jangan sampai seperti beberapa tokoh bangsa yang
bagaikan kebakaran jenggot ketika mendengarkan Indonesia mendapat predikat
sebagai negara gagal tadi. Akhirnya hanya terjadi adu argumen tanpa adanya niat
dan usaha untuk memperbaiki kemerosotan nilai dalam kehidupan masyarakat.
Seharusnya
kegagalan pendidikan dijawab dengan usaha untuk memperbaiki pola pendidikan itu
sendiri, baik yang bersifat formal maupun pendidikan lainnya yang berpusat di
keluarga dan masyarakat. Dan yang terpenting untuk diingat adalah ketika
seseorang mengatakan pendidikan itu gagal, maka sebenarnya orang tersebut
mendeklarasikan dirinya adalah bagian dari penyebab kegagalan pendidikan itu
sendiri. Pernyataannya itu harusnya berbuah pada sebuah sikap ke arah positif
sebagai usaha memperbaiki apa yang dinyatakannya. Bukankah begitu?
Atas
kesadaran inilah, sebagai bentuk usaha preventif pemerintah memvulgarkan
kembali pentingnya pendidikan karakter dan budi pekerti. Meski arah pendidikan
ini lebih banyak dititik beratkan ke satuan pendidikan (sekolah) dengan pola
yang kaku sehingga berbuah formalitas pelaksanaan. Padahal tujuan sebenarnya
adalah untuk menciptakan generasi yang tahan uji dan teruji integritasnya
nanti. Bukan diukur hanya dengan sekedar test di atas kertas dan kemudian
memberikan penilaian secara spontanitas. Karena pembentukan karakter adalah
proses perjalanan yang tidak hanya bisa disulap melalui perangkat pembelajaran
di sekolah. Karena memupuk budi pekerti adalah pekerjaan bersama bagi
sekolah, keluarga, dan masyarakat.
2.
Kembali kepada Fitrah
Tidak
akan terjadi kehadiran pemikiran untuk menghadirkan kerja-kerja baru yang
hanya akan menggerogoti tubuh pendidikan itu sendiri. Kita bersama mendengar
sebelum mencuatnya pendidikan karakter dan budi pekerti, juga telah lahir propaganda
‘baru’ dalam tubuh pendidikan itu sendiri. Katanya bertujuan memperbaiki
kondisi yang kritis itu.
Sebagai
contoh karena ketakutan akan hilangnya budaya lokal akhirnya memunculkan konsep
yang mengakomodir penguatan budaya lokal dengan sebuah kurikulum baru. Walau
pada kenyataannya tergerus oleh standarisasi nasional melalui evaluasi yang
bernama ujian nasional. Begitu juga dengan masalah korupsi, ketidaksadaran
dalam melestarikan lingkungan hidup, meluasnya perusakan terumbu karang
dan lain sebagainya. Kesemuanya ini memunculkan konsep yang diniatkan untuk
disandingkan dengan kurikulum di setiap sekolah. Padahal mata pelajaran yang
ada saja belum berjalan dengan maksimal dan standar kompetensi lulusan masih
banyak yang belum tercapai.
Oleh
karenanya, perlu kesadaran bersama ketiga kompenen tadi (sekolah, keluarga, dan
masyarakat) untuk kembali memaknai pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang baik
adalah keteladanan dan memberikan ruang bebas untuk kreatifitas. Harus ada
keseimbangan porsi dalam pengembangan akal dan sikap. Ketika kondisi ini
timpang dan diperberat oleh suasana adanya salah satu atau semua dari kompenen
tadi yang tidak mendukung. Terjadilah seperti apa yang kita dengar. Anak
terperangkap dalam kekerasan baik fisik atau psikologis, kasus narkoba,
terinfeksi HIV/AIDS, dan perilaku lain yang menunjukkan tingkat demoralisasi
yang tinggi.
Adanya
intervensi politik dalam tubuh pendidikan juga merupakan sesuatu yang harus
dihindari. Jika pendidikan itu mampu dilaksanakan tanpa adanya tekanan politis
dengan berbagai kebijakan populer yang tidak etis, maka pendidikan itu hanya
akan menjadi simbol dalam strata kehidupan belaka. Maka tak usah cemas dan
berpura bermuka sedih ketika menyaksikan perbuatan anak bangsa yang merongrong
martabat bangsanya sendiri tersebut. Apalagi berharap akan lahirnya pemimpin
seperti yang kita idamkan. Bak kata pepatah ‘jauh panggang dari api.’ Mustahil
semua keinginan itu tercapai ketika pendidikan hanya dijadikan ladang uji coba
pendapat dan pemuas hasil kebutuhan dalam melihat sebuah hipotesis penelitian.
Perlu
disadari, kegagalan pendidikan pada satu generasi akan melahirkan kegagalan
kembali pada generasi berikutnya. Nah, inilah penyebabnya bangsa ini mengalami
keruntuhan kepercayaan terhadap para pemimpin. Kuncinya kembalikan pendidikan
pada fitrahnya. Karena pendidikan yang gagal adalah sumber terjadinya krisis
kepemimpinan. Dan krisis kepemimpinan adalah sumber dari krisis kehidupan di
negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar