Parpol adalah kelompok yang kelompok anggota yang terorganisasi
secara rapi dan stabil yang dipersatukan motivasi dengan ideologi tertentu yang
berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui
pemilu. Kekuasaan yang diperoleh melalui pemilu tentu membutuhkan dukungan yang
besar dari rakyat. Rakyat akan memilih partai yang dapat memperjuangkan
aspirasinya. Dari situ dapat dilihan betapa pentingnya peranan partai politik,
khususnya dalam menyalurkan aspirasi rakyat dalam pemerintahan.
A. Peran Partai Politik pada Era
Penjajahan
Pertumbuhan Partai Politik di Indonesia telah mengalami pasang
surut. Kehidupan Partai Politik baru dapat di lacak kembali mulai tahun 1908.
Pada tahap awal, organisasi yang tumbuh pada waktu itu seperti Budi Oetomo
belum bisa dikatakan sebagaimana pengertian Partai Politik secara modern. Boedi
Oetomo tidak diperuntukkan untuk merebut kedudukan dalam negara (public office)
di dalam persaingan melalui Pemilihan Umum.
Juga tidak dalam arti organisasi
yang berusaha mengendalikan proses politik. Boedi Oetomo dalam tahun-tahun itu
tidak lebih dari suatu gerakan kultural, untuk meningkatkan kesadaran
orang-orang Jawa. Walaupun pada waktu itu Budi Oetomo belum bertujuan ke
politik murni, tetapi keberadaan Boedi Oetomo sudah diakui para peneliti dan
pakar sejarah Indonesia sebagai perintis organisasi modern.
Partai dalam arti modern sebagai suatu organisasi massa
yang berusaha untuk mempengaruhi proses politik, merombak kebijaksanaan dan
mendidik para pemimpin dan mengejar penambahan anggota, baru lahir sejak
didirikan Sarekat Islam pada tahun 1912. Sejak itulah partai dianggap menjadi
wahana yang bisa dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan nasionalis. Selang
beberapa bulan, lahir sebuah partai yang di dirikan Douwes Dekker yaitu Indesce
Partij, yang dilatarbelakangi oleh adanya diskriminasi antara kaum Indo
peranakan dan Belanda baik dalam gaji maupun perlakuan lainnya menyebabkan
timbulnya pergolakan jiwa di kalangan kaum Indo. Lalu bertekad mendirikan perkumpulan
yang radikal yang berusaha meleburkan diri dengan masyarakat pribumi. Terutama
adanya ancaman yang sama yaitu penindasan kolonial. Dua partai inilah yang bisa
dikatakan sebagai cikal bakal semua Partai Politik dalam arti yang sebenarnya
yang kemudian berkembang di Indonesia.
Pada masa pergerakan nasional, hampir semua partai tidak
boleh berhubungan dengan pemerintah dan massa di bawah (grass roots). Jadi yang
di atas, yaitu jabatan puncak dalam pemerintahan kolonial, tak terjangkau, ke
bawah tak sampai. Tapi Partai Politik menjadi penengah, perumus ide. Fungsi
Partai Politik hanya berkisar pada fungsi sosialisasi politik dan fungsi
komunikasi politik.
Pada masa pendudukan Jepang semua Partai Politik
dibubarkan. Namun, pada masa pendudukan Jepang juga membawa perubahan penting.
Pada masa Jepang-lah didirikan organisai-organisasi massa yang jauh menyentuh
akar-akar di masyarakat. Jepang mempelopori berdirinya organisasi massa bernama
Pusat Tenaga Rakyat (Poetera). Namun nasib organisasi ini pada akhirnya juga
ikut dibubarkan oleh Jepang karena dianggap telah melakukan kegiatan yang
bertujuan untuk mempengaruhi proses politik. Praktis sampai diproklamirkan
kemerdekaan, masyarakat Indonesia tidak mengenal partai-partai politik.
Jadi peran partai politik pada masa penjajahan sebagian
besar hanya sebagai penengah, dan perumus ide yang hanya berfungsi sebagai
sarana sosialisasi politik dan komunikasi politik.
B. Peran Partai Politik pada Era Awal
Kemerdekaan
Dalam perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan,
rakyat tidak hanya menyusun pemerintahan dan militer yang resmi, tetapi juga
menyusun laskar atau badan perjuangan bersenjata dan organisasi politik. Pada
zaman kemerdekaan ini, partai politik tumbuh di Indonesia ibarat tumbuhnya
jamur di musim hujan, dengan berbagai haluan ideologi politik yang berbeda satu
sama lain. Hal ini dikarenakan adanya maklumat Pemerintah RI 3 November 1945
yang berisi anjuran mendirikan partai politik dalam rangka memperkuat
perjuangan kemerdekaan.
Pada masa ini peran partai politik adalah sebagai sarana
perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan melalui cara-cara yang
bersifat politis.
C. Peran Partai Politik pada Era Orde
Lama
Dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah pada tanggal 3
November 1945 yang menganjurkan dibentuknya Parpol, sejak saat itu berdirilah
puluhan partai. Maklumat ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Atas usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat yang meminta
diberikannya kesempatan pada rakyat yang seluas-luasnya untuk mendirikan Partai
Politik. Partai Politik hasil dari Maklumat Pemerintah 3 November 1945
berjumlah 29 buah, dikelompokkan dalam 4 kelompok partai berdasarkan ketuhanan,
kebangsaan, Marxisme, dan kelompok partai lain-lain yang termasuk partai
lain-lain adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan Partai Indo Nasional.
Ketika Indonesia menganut demokrasi liberal, kabinetnya
bersifat parlementer. Dalam demokrasi parlementer, demokrasi liberal atau
demokrasi Eropa Barat, kebebasan individu terjamin. Begitu juga lembaga tinggi.
Dalam sistem politik menurut UUDS 1950 peranan partai-partai besar sekali.
Antara partai politik dan DPR saling terdapat ketergantungan, karena anggota
DPR umumnya adalah orang-orang partai. Dalam tahun-tahun pertama sesudah
pengakuan kedaulatan, orang berpendapat bahwa partai merupakan tangga ketenaran
atau kenaikan kedudukan seseorang. Pemimpin-pemimpin partai akan besar
pengaruhnya terhadap pemerintahan baik di pusat maupun di daerah-daerah dan
menduduki jabatan tinggi dalam pemerintahan meskipun pendidikannya rendah.
Partai politik pada zaman liberal diwarnai suasana penuh ketegangan politik,
saling curiga mencurigai antara partai politik yang satu dengan partai politik
lainnya. Hal ini mengakibatkan hubungan antar politisi tidak harmonis karena
hanya mementingkan kepentingan (Parpol) sendiri.
Pada keadaan seperti itulah Partai Politik tumbuh dan
berkembang selama revolusi fisik dan mencapai puncaknya pada tahun 1955 ketika
diselenggarakan Pemilihan Umum pertama yang diikuti oleh 36 Partai Politik,
meski yang mendapatkan kursi di parlemen hanya 27 partai. Pergolakan-pergolakan
dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Konstituante hasil Pemilihan Umum telah
menyudutkan posisi Partai Politik. Hampir semua tokoh, golongan
mempermasalahkan keberadaan Partai Politik. Kekalutan dan kegoncangan di dalam
sidang konstituante inilah yang pada akhirnya memaksa Bung Karno membubarkan
partai-partai politik.
Pada tanggal 5 Juli 1960 Presiden Sukarno mengeluarkan
Peraturan Presiden No.13 tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan
pembubaran partai-partai. Pada tanggal 14 April 1961 Presiden Sukarno
mengeluarkan Keputusan Presiden no. 128 tahun 1961 tentang partai yang lulus
seleksi, yaitu PNI, NU, PKI, partai Katolik, Pertindo, Partai Murba, PSII, Arudji,
dan IPKI. Dan 2 partai yang menyusul yaitu Parkindo dan partai Islam Perti.
Jadi pada waktu itu, parpol yang boleh bergerak hanya 10 partai saja, karena
parpol yang lain dianggap tidak memenuhi definisi tentang partai atau
dibubarkan karena tergolong partai Gurem. Tetapi jumlah partai yang tinggal 10
buah itu berkurang satu pada tahun 1964. Presiden Sukarno atas desakan PKI dan
antek-anteknya, membubarkan Partai Murba dengan alasan Partai Murba merongrong
jalannya revolusi dengan cara membantu kegiatan terlarang seperti BPS (Badan
Pendukung Sukarnoisme) dan Menikebu (Manifesto Kebudayaan).
Peranan partai politik pada masa ini sudah menjadi sarana
penyalur aspirasi rakyat, namun kurang maksimal karena situasi politik yang
panas dan tidak kondusif. Dimana setiap partai hanya mementingkan kepentingan
partai sendiri tanpa memikirkan kepentingan yang lebih luas yaitu kepentingan
bangsa.
D. Peran Partai Politik pada Era Orde
Baru
Perkembangan partai politik setelah meletus G. 30 S/PKI,
adalah dengan dibubarkannya PKI dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang di
Indonesia. Menyusul setelah itu Pertindo juga menyatakan bubar. Dengan demikian
partai politik yang tersisa hanya 7 buah. Tetapi jumlah itu bertambah dua
dengan direhabilitasinya Murba dan terbentuknya Partai Muslimin Indonesia.
Golongan Karya yang berdiri pada tahun 1964, semakin jelas sosoknya sebagai
kekuatan sosial politik baru.
Dalam masa Orde Baru dengan belajar dari pengalaman Orde
Lama lebih berusaha menekankan pelaksanaan Pancasila secara murni dan
konsekuen. Kristalisasi Parpol Suara yang terdengar dalam MPR sesudah pemilu
1971 menghendaki jumlah partai diperkecil dan dirombak sehingga partai tidak
berorientasi pada ideologi politik, tetapi pada politik pembangunan. Itu karena
banyaknya Partai Politik dianggap tidak menjamin adanya stabilitas politik dan
dianggap mengganggu program pembangunan. Usaha pemerintah ini baru terealisasi
pada tahun 1973, partai yang diperbolehkan tumbuh hanya berjumlah tiga yaitu
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), GOLKAR dan Partai Demokrasi Indonesia
(PDI).
Nampak sekali bahwa partai-partai yang ada di Indonesia
boleh dikatakan merupakan partai yang dibentuk atas prakarsa negara.
Pembentukan partai bukan atas dasar kepentingan masing-masing anggota melainkan
karena kepentingan negara. Dengan kondisi partai seperti ini, sulit rasanya
mengharapkan partai menjadi wahana artikulasi kepentingan rakyat.
E. Peran Partai Politik pada Era
Reformasi dan Masa Kini
Setelah reformasi, pertumbuhan Partai Politik didasari
atas kepentingan yang sama masing-masing anggotanya. Boleh jadi, Era Reformasi
yang melahirkan sistem multi-partai ini sebagai titik awal pertumbuhan partai
yang didasari kepentingan dan orientasi politik yang sama di antara anggotanya.
Kondisi yang demikian ini perlu dipertahankan, karena
Partai Politik adalah alat demokrasi untuk mengantarkan rakyat menyampaikan
artikulasi kepentingannya. Tidak ada demokrasi sejati tanpa Partai Politik.
Meski keberadaan Partai Politik saat ini dianggap kurang baik, bukan berarti
dalam sistem ketatanegaraan kita menghilangkan peran dan eksistensi Partai
Politik. Keadaan Partai Politik seperti sekarang ini hanyalah bagian dari
proses demokrasi.
Dalam kondisi kepartaian yang seperti ini, Pemilihan Umum
2004 digelar dengan bersandar kepada Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik. Dalam perjalanannya, undang-undang ini di anggap belum mampu
mengantarkan sistem kepartaian dan demokrasi perwakilan yang efektif dan
fungsional. Undang-undang ini juga belum mampu melahirkan Partai Politik yang
stabil dan akuntabel. Masyarakat juga masih belum percaya pada keberadaan
Partai Politik, padahal fungsi Partai Politik salah satunya adalah sebagai alat
artikulasi kepentingan rakyat. Untuk menciptakan Partai Politik yang efektif
dan fungsional diperlukan adanya kepercayaan yang penuh dari rakyat. Tanpa
dukungan dan kepercayaan rakyat, Partai Politik akan terus dianggap sebagai
pembawa ketidakstabilan politik sehingga kurang berkah bagi kehidupan rakyat.
Untuk menciptakan sistem politik yang memungkinkan rakyat
menaruh kepercayaaan, diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan yang mampu
menjadi landasan bagi tumbuhnya Partai Politik yang efektif dan fungsional.
Dengan kata lain, diperlukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan
yang mengatur sistem Politik Indonesia yakni Undang-undang No. 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik, Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Undang-undang No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-undang No. 22 Tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Boleh dikatakan bahwa setelah era reformasi ini peran
partai sebagai penyalur aspirasi rakyat bisa dimaksimalkan, dapat dilihat dari
partai-partai yang tumbuh dan berkembang dengan bebas tanpa intervensi dari
pihak manapun. Walaupun begitu masih banyak yang harus dibenahi partai politik
kita, diantaranya adalah masih banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme di dalam
organisasi partai politik saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar