Keberadaan
mahasiswa sebagai salah satu kekuatan politik dalam konteks bernegara/bangsa
sedikit banyak merupakan fenomena universal. Pada beberapa bangsa/Negara,
hampir setiap perubahan sosial besar yang terkait dengan kekuasaan, selalu
melibatkan peran mahasiswa. Begitu pula dengan pengalaman sejarah mahasiswa di
Indonesia, peran mahasiswa sebagai kekuatan politik sangat dirasakan.
Dapat
dikatakan, mahasiswa menjadi salah satu inisiator dan atau agen dalam diskursus
ide/ideologi gerakan-gerakan sebelum dan setelah kemerdekaan serta zaman Reformasi
di Republik Indonesia.
Mahasiswa
merupakan bagian dari kelompok bermasyarakat/sosial yang secara khusus mendapat
kesempatan mengikuti proses pendidikan formal di bangku kuliah perguruan
tinggi. Potensi bekal pengetahuan yang didapat lewat bangku kuliah atau
pendidikan tinggi ini, menyebabkan mahasiswa kerap dianggap sebagai salah satu
segmen/bagian penting dalam kelompok sosial masyarakat. Bahkan, ada yang
menyebutkan bahwa mahasiswa sebagai kelompok terpelajar intelektual atau
kelompok strategis.
Persepsi
ini timbul karena kesadaran kritikal mahasiswa terhadap kinerja kekuasaan dan
lingkungan sosialnya. Persepsi semacam ini dalam kurun waktu terdahulu
menemukan basis empiriknya, yaitu peran heroik mahasiswa dalam tiap segmen
perubahan sosial dan politik penting sejarah negara-berbangsa, termasuk sejarah
panjang perjuangan Bangsa Indonesia.
Peran
heroik mahasiswa itu cenderung gegap gempita dalam struktur kepolitikan
negara-bangsa otoriter. Karena dalam struktur kepolitikan yang otoriter itu
mahasiswa menemukan musuh bersama yaitu penguasa otoriter yang jadi pengikat
kesatuan kekuatan mahasiswa. Sebaliknya, peran heroik mahasiswa, cenderung
memudar, fluktuatif dan sepi dalam struktur kepolitikan negara-bangsa yang
demokratis. Sebab, struktur kepolitikan demokratis niscaya berkepentingan
mengakomodasi pelibatan kekuatan sosial secara inklusif, termasuk mahasiswa.
Sehingga, gaung peran heroik mahasiswa itu tak mencuat ke permukaan, tetapi
terlembaga dalam struktur politik negara-bangsa.
Selalu
ada konteks lingkungan yang melingkupi gagasan dan kegiatan mahasiswa dimana
dan kapanpun. Salah satu kerangka pemikiran yang dapat dipakai untuk
menjelaskan realitas interaksional antara mahasiswa dengan lingkungannya adalah
perspektif ekonomisme dan perspektif politisisme. Benang merah perspektif
ekonomisme dan perspektif politisisme adalah fokus pada preferensi dan
kepentingan bersama, bukan individu. Sehingga, dalam kerangka keberadaannya,
mahasiswa dipahami sebagai komunitas yang memiliki nilai bersama (share
values), bukan dipahami sebagai individu-individu mahasiswa yang memiliki nilai
berfragmentasi (fragmented values). Perspektif ekonomisme mengasumsikan
proses-proses politik adalah hasil dari interaksi antarkekuatan sosial yang ada
dimasyarakat. Sedangkan perspektif politisisme mengasumsikan negara/pemerintah
adalah juga merupakan salah satu kekuatan social yang terlibat dalam proses
interaksi dengan kekuatan social yang lain.
Mahasiswa tak mungkin terlepas dari politik. Sadar atau tidak sadar, suka atau
tidak suka, mahasiswa akan selalu dilingkupi oleh politik. Interaksi mahasiswa
dengan politik dapat bersifat tiga arah, yaitu, mempengaruhi, dipengaruhi, atau
saling mempengaruhi.
Hingga
abab 20–an, politik cenderung dilekatkan dengan konotasi idea tau ideologi.
Beragam ideologi yang bermuara pada semangat kemerdekaan, nasionalism-etnik,
nasionalisme-civic dan kolektivisme menjadi arus utama dalam diskursus dunia
saat itu. Mahasiswa sebagai salah satu kekuatan social dalam masyarakat pun
terlibat aktif dalam pergumulan ide/ideology dunia tersebut. Memasuki abab 21
hingga sekarang, konotasi politik cenderung bergeser dari sekedar ide/ideologi
menjadi kehadiran/representasi. Mind-set dibalik politik kehadira/representasi
mengandalkan setiap individu atapun kelompok (termasuk mahasiswa) memiliki
posisi dan hak yang sama untuk berpartisipasi dalam tatanan kehidupan yang
melingkupinya.
Disamping
itu, berkembang keyakinan bahwa perubahan tak mungkin terjadi hanya dengan
gagasan, tetapi harus dengan pelibatan diri dalam kelembagaan politik, maka
jejaring ekonomi politik niscaya menjadi persyaratan. Itu sebabnya, semua
kekuatan sosial yang ada di masyarakat termasuk mahasiswa, berkepentingan
membangun jejaring dengan partai politik, ormas, political executive,
organisasi ekstra kampus, organisasi intra kampus, LSM, kekuatan kapital bahkan
kekuatan global. Semakin luas jejaring ekonomi politik yang dimiliki, maka
semakin besar peluang dilibatkan dalam kelembagaan politik. Sebaliknya, semakin
sempit jejaring ekonomi politiknya, maka semakin besar peluang tersingkir dari
kelembagaan politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar